Pasuruan, 15 Oktober 2025 — Institusi penegak hukum kembali diguncang isu miring. Seorang oknum anggota Polres Kabupaten Pasuruan berinisial Brigadir H diduga kuat terlibat dalam praktik jual beli mobil bodong. Lebih parahnya, laporan masyarakat terkait kasus ini tidak diproses secara terbuka. Polres pun kini dituding melindungi pelaku dari jerat hukum.
Sejumlah korban mengaku telah membeli kendaraan dari Brigadir H dengan harga miring. Namun belakangan diketahui kendaraan tersebut tidak memiliki dokumen resmi, bahkan ada indikasi menggunakan surat-surat palsu. Laporan telah diajukan ke pihak kepolisian, namun tak ada tindak lanjut. Kondisi ini memunculkan dugaan adanya praktik pembiaran dan perlindungan internal.
Perbuatan Pidana Jelas, Tapi Tak Diproses
Tindakan yang dilakukan oknum tersebut dapat dijerat dengan berbagai pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di antaranya:
- Pasal 263 KUHP: Pemalsuan surat. Ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara, jika terbukti menggunakan atau membuat dokumen kendaraan palsu.
- Pasal 480 KUHP: Penadahan. Menjual atau membeli barang yang berasal dari kejahatan diancam pidana maksimal 4 tahun penjara.
- Pasal 55 dan 56 KUHP: Memberi bantuan atau turut serta dalam kejahatan, dikenakan pidana setara pelaku utama.
Lebih jauh, jika terbukti ada atasan atau rekan yang mengetahui kejahatan ini namun sengaja membiarkannya, maka dapat dikenai:
- Pasal 221 KUHP: Menyembunyikan pelaku tindak pidana atau menghalangi proses penegakan hukum. Ancaman hukuman 9 bulan penjara, dan lebih berat jika dilakukan oleh aparat negara.
Korban: Kami Ditipu, Tapi Malah Dibiarkan
Salah satu korban menyebut bahwa kendaraan yang ia beli dari oknum tersebut ternyata telah terdaftar sebagai barang sitaan di wilayah lain. Saat hendak mengurus surat kendaraan, dirinya justru mendapat ancaman dan intimidasi.
“Kami percaya karena dia polisi. Tapi setelah tahu mobil itu bodong dan kami lapor, kasusnya malah tenggelam. Kami minta keadilan,” ujar korban dengan nada kecewa.
Desakan Investigasi Independen
LSM antikorupsi dan pengamat kepolisian mendesak Kapolda Jawa Timur dan Propam Mabes Polri untuk segera turun tangan. Mereka menilai Polres Kabupaten Pasuruan telah gagal menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
“Jika laporan masyarakat dibiarkan, ini bukan lagi kasus individual. Ini soal rusaknya sistem pengawasan internal. Harus ada investigasi terbuka, bahkan jika perlu sanksi untuk Kapolres,” ujar R. Handoko, Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hukum Indonesia (LPHI).
Penutup: Ujian bagi Institusi Penegak Hukum
Kasus ini menjadi ujian serius bagi institusi kepolisian. Apakah Polri mampu menindak anggotanya sendiri secara profesional? Ataukah hukum hanya berlaku bagi masyarakat sipil?
Masyarakat menunggu: Penegakan hukum tanpa pandang bulu. Bukan pencitraan, tapi tindakan nyata.
