Bojonegoro, Jawa Timur — Di Desa Kasiman, Kecamatan Kasiman, suara mesin tambang kini menjadi latar keseharian warga. Deru alat berat dan truk pengangkut pasir menggantikan kicau burung pagi. Di balik kegiatan itu, tersimpan ironi besar: tambang galian C yang diduga ilegal beroperasi bebas tanpa satu pun tindakan tegas dari aparat.
Aktivitas tersebut disebut-sebut milik Mintoro, warga asal Lamongan. Operasi tambang berjalan mulus, meski kuat dugaan tak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun izin lingkungan. Sementara itu, hukum yang seharusnya menjadi pagar, justru tampak rapuh dan tak berdaya.
“Kami sudah lapor berkali-kali. Tapi tidak ada yang datang, tidak ada yang peduli. Tambang itu seperti dilindungi,” ujar seorang warga, Kamis (23/10/2025).
Hukum yang Tak Dihormati
Dari hasil penelusuran, lokasi tambang di Kasiman tidak menampilkan satu pun tanda resmi legalitas. Tak ada papan nama, tak ada izin terpampang. Hanya gundukan tanah dan ekskavator yang bekerja tanpa henti.
Padahal, Pasal 35 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba menyebutkan setiap kegiatan penambangan wajib memiliki izin. Pelanggar dapat dijerat Pasal 158, dengan ancaman lima tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
Namun di Kasiman, undang-undang itu seperti tak pernah ada. Hukum berhenti di meja, tapi tak pernah turun ke lapangan.
Diamnya Aparat, Tanda Tanya Publik
Ketika tambang ilegal bisa berjalan bertahun-tahun tanpa tindakan, publik wajar bertanya: di mana aparat? Mengapa Polres Bojonegoro dan Satpol PP tidak menutup lokasi yang jelas-jelas melanggar hukum?
Ketiadaan tindakan inilah yang menimbulkan dugaan adanya pembiaran sistematis, bahkan kemungkinan adanya transaksi gelap antara oknum aparat dan pelaku tambang.
Menurut PBH Lembaga Investigasi Negara (LIN), sikap diam aparat bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
“Membiarkan kejahatan berlangsung sama dengan ikut melakukan kejahatan. Jika aparat tahu tapi tidak menindak, mereka tak lagi menegakkan hukum, tapi mengkhianatinya,” tegas perwakilan LIN.
Rakyat Kecil Menanggung Debu dan Derita
Sementara hukum bungkam, warga Kasiman menanggung beban paling berat. Jalan desa rusak total akibat truk tambang. Sawah mengering, udara berdebu, dan kesehatan warga terganggu.
“Anak-anak sering batuk, rumah kami penuh debu, dan jalan hancur. Tapi tidak ada yang peduli,” kata warga setempat yang enggan di sebutkan namanya.
Kerusakan lingkungan ini tidak hanya merusak alam, tapi juga memiskinkan masyarakat desa. Banyak petani terpaksa berhenti menggarap tanah karena air tanah berkurang akibat pengerukan.
Aktivis lingkungan Bojonegoro, Ririn Astuti, menyebut tambang ilegal sebagai bentuk kolonialisme baru.
“Dulu rakyat ditindas karena tanahnya dirampas penjajah. Sekarang, rakyat dirampas hak hidupnya oleh tambang tanpa izin dan aparat yang memilih diam,” ujarnya.
Desakan Turun Tangan dari Pusat
Warga bersama Lembaga Investigasi Negara (LIN) kini mendesak Polda Jawa Timur bahkan Mabes Polri untuk turun langsung ke lokasi. Mereka menuntut penutupan tambang, penyitaan alat berat, dan pemeriksaan menyeluruh terhadap pihak-pihak yang terlibat — termasuk oknum aparat yang diduga melakukan pembiaran.
“Kalau hukum hanya tajam ke rakyat kecil tapi tumpul ke pemilik modal, maka wibawa negara sudah mati,” ujar R. I. Wiratmoko, Ketua Umum LIN.
Catatan Redaksi
Tim redaksi telah mencoba menghubungi Polres Bojonegoro dan Dinas ESDM Jawa Timur untuk meminta klarifikasi terkait dugaan tambang ilegal di Desa Kasiman. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi.
Analisis Redaksi
Kasiman adalah potret nyata dari krisis moral dan kelemahan hukum di daerah penghasil sumber daya alam. Di sini, hukum kehilangan giginya, dan rakyat kehilangan harapannya.
Tambang ilegal bukan sekadar persoalan izin, melainkan simbol dari negara yang gagal hadir untuk melindungi warganya.
Selama hukum bisa dibungkam dengan uang, maka suara rakyat akan selalu terkubur di bawah tumpukan tanah tambang.
